AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak
 banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada
 salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 
1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam 
terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada 
Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,
 telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya
 H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan
 luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika 
invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam
 studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington 
terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh 
dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca 
PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi
 wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari 
kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah 
Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan 
kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses 
kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar 
apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata
 lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah
 sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi
 pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet 
adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar
 negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah 
Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, 
Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan 
Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon 
bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik 
Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII
 yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai 
komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang 
mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa.
 Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin 
mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, 
yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik 
dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan 
Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung 
kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan 
nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam 
memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda 
meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda
 sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada 
Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi 
kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall 
Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), 
salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman 
Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan 
pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi 
satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam 
perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi 
satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika 
sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah 
penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag 
untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik 
Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington
 juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan 
peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara 
signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada 
musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan 
untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan
 dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman 
dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia 
Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir 
Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS 
secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui 
program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat 
tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 
unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar 
untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut 
militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun 
diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan
 fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer 
non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk 
mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas
 Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli 
senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di 
Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot 
keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur
 Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda 
untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan 
kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi 
militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa 
bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada 17 Desember 
1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan 
berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington 
melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan 
kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen 
vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang
 Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat
 mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu 
pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak
 boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi
 situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru
 sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi 
berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada 
pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh 
kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan 
Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan 
bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang 
mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington 
seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh 
kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan
 PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB 
menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun
 yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada 
perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan 
Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan 
kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan
 Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang 
kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk 
menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil 
keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan 
Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen
 yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan 
Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, 
adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota 
Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk 
percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan 
pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus 
memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di 
mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk 
demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan 
berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik 
Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang 
terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan 
mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan
 agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap 
komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan 
Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri 
keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi
 Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan 
dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). 
Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang 
drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika 
delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan 
kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin 
bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata 
ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan 
mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses 
perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia
 yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya 
alam dan manusia (11).
Gelombang demi gelombang kritik, protes, 
dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh 
pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan 
Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan 
ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS 
memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB 
(12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di 
Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan
 upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia 
Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik 
mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika 
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan 
harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam 
gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri 
revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di 
peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari 
Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka 
lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan 
kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan 
harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin 
besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang 
dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan 
oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari 
kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid
 ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail 
mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur 
dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson 
memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan 
kode sandi‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black
 Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, 
yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen 
di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan 
kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, 
propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk 
pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar 
negeri. 
Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan 
Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 
yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan
 September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana 
sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD 
untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, 
yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15).
 Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green 
memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA 
kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 
1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma 
menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan 
politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar 
Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana
 layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda
 pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik 
Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU 
PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan 
memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut 
kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan 
sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan 
Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak 
perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok 
minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak 
di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap 
tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini 
adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di 
Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh 
beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha. 
Sekian Ilmu yang ane share :) 
Sumber : http://bisnisonlinesnews.blogspot.com/2011/09/sejarah-pahit-indonesia-yang.html
Friday, August 24, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)




0 comments:
Post a Comment